A.
‘ARIYAH
Secara
etimologi berarti pergi dan kembali atau beredar. Secara kebahasaan berarti
pinjam-meminjam. ‘ariyah sebagai sebuah akad merupakan suatu sarana
dalam Islam untuk saling menolong di antara sesama manusia tanpa pamrih.
Ulama
Mazhab Maliki merumuskan ‘ariyah sebagai kebebasan memanfaatkan sesuatu
tanpa ganti rugi; ulama Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hanbali mendefinisikannya
sebagai kebolehan memanfaatkan barang orang lain tanpa ganti rugi. Perbedaan
kedua definisi ini terlihat ketika muncul persoalan apakah orang yang meminjam
barang tersebut dibolehkan untuk meminjamkan pula kepada orang lain untuk
dimanfaatkan. Menurut definisi pertama yang dikemukakan oleh Imam as-Sarakhsi
(w. 483 H/1090 M), ahli fikih dan usul fikih Mazhab Hanafi, orang yang
memanfaatkan barang itu boleh meminjamkannya kepada orang lain tanpa ganti
rugi. Adapun menurut definisi ulama Mazhab Syafi’i dan Hanbali, orang yang
meminjam barang itu tidak dibenarkan meminjamkannya lagi kepada orang lain.
‘Ariyah sebagai sarana
tolong-menolong antara sesama manusia didasarkan pada firman Allah SWT dalam
surah al-Ma’idah ayat 2:
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä w (#q=ÏtéB uȵ¯»yèx© «!$# wur tök¤¶9$# tP#tptø:$# wur yôolù;$# wur yÍ´¯»n=s)ø9$# Iwur tûüÏiB!#uä |Møt7ø9$# tP#tptø:$# tbqäótGö6t WxôÒsù `ÏiB öNÍkÍh5§ $ZRºuqôÊÍur 4 #sÎ)ur ÷Läêù=n=ym (#rß$sÜô¹$$sù 4 wur öNä3¨ZtBÌøgs ãb$t«oYx© BQöqs% br& öNà2r|¹ Ç`tã ÏÉfó¡yJø9$# ÏQ#tptø:$# br& (#rßtG÷ès? ¢ (#qçRur$yès?ur n?tã ÎhÉ9ø9$# 3uqø)G9$#ur ( wur (#qçRur$yès? n?tã ÉOøOM}$# Èbºurôãèø9$#ur 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# ( ¨bÎ) ©!$# ßÏx© É>$s)Ïèø9$# ÇËÈ
Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah[1], dan
jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram[2],
jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya[3], dan
binatang-binatang qalaa-id[4], dan
jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka
mencari kurnia dan keredhaan dari Tuhannya[5] dan
apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, Maka bolehlah berburu. dan
janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka
menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada
mereka). dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa,
dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah
kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.
Dasar
hukum lain yang membolehkan akad ‘ariyah ini adalah hadis Nabi SAW.
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abu Sufyan bin
Umayyah dikatakan bahwa Rasulullah SAW meminjam kuda Abu Talhah dan
mengendarainya. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abu Sufyan
juga dikatakan bahwa Rasulullah SAW meminjam baju perang Abu Sufyan. Lalu Abu
Sufyan berkata, “Apakah hal ini merupakan pemakaian tanpa izin (ghasab)
wahai Muhammad?” Rasulullah SAW menjawab, “Tidak, ini saya pinjam dengan
jaminan.”
Karena
menyangkut pemindahan hak pemanfaatan barang, maka ‘ariyah mempunyai
syarat yang harus dipenuhi. Para ulama mengemukakan syaratnya sebagai berikut:
1. Peminjam adalah orang yang telah berakal, sehingga dapat
dipercayai untuk memelihara barang ‘ariyah ini.
2. Barang yang dipinjamkan bukan barang yang habis jika dipakai,
seperti rumah, tanah, pakaian, dan binatang ternak.
3. Barang yang dipinjamkan dapat dikuasai secara langsung oleh
peminjam.
Sehubungan
dengan itu, barang yang dipinjamkan itu tidak boleh dimanfaatkan peminjam dalam
hal yang dilarang agama. Misalnya, senjata dengan segala perangkatnya tidak
boleh dipinjamkan kepada kafir harbi (kafir yang memusuhi Islam).
Persoalan
lain yang dibahas oleh para ulama adalah segi kualitas dan kuantitas
pemanfaatan barang tersebut oleh peminjam, apakah secara mutlak ia dapat
memanfaatkan barang tersebut atau dalam bentuk terbatas sesuai dengan izin yang
meminjamkan. Dalam kaitan ini, para ulama mengatakan bahwa hal itu tergantung
kepada akadnya. Apabila peminjaman tersebut dilakukan secara mutlak, maka
peminjam berhak untuk memanfaatkan barang tersebut sesuai dengan keinginannya,
baik digunakannya sendiri maupun digunakan orang lain. Menurut ulama Mazhab
Hanafi, jika seseorang meminjam mobil yang tidak dibatasi penggunaan, waktu,
dan tempatnya, maka peminjam boleh memakainya di mana saja selama diinginkannya
serta meminjamkannya kepada orang lain. Apabila pemilik barang memberikan
pinjaman barang dengan batasan waktu, tempat, dan pemakaian, maka peminjam
terikat dengan syarat yang ditentukan. Apabila syarat tersebut tidak
diindahkannya, maka segala resiko kerugian barang pinjaman menjadi tanggungan
peminjam.
Para
ulama berbeda pendapat mengenai status hukum akad ‘ariyah, apakah boleh
dibatalkan sepihak oleh pemiliknya atau tidak. Menurut ulama Mazhab Hanafi,
Syafi’i, dan Hanbali, sifat akad ‘ariyah tidak mengikat bagi kedua belah
pihak. Pihak yang meminjamkan dapat membatalkan pinjaman tersebut kapan saja ia
mau dan pihak peminjam juga dapat mengembalikan barang kapan saja, tanpa
membedakan apakah peminjaman itu bersifat mutlak atau dengan syarat tertentu.
Ada pengecualian jika pembatalan akad tersebut membawa mudharat bagi peminjam,
seperti tanah yang dipinjam untuk menguburkan mayat. Dalam hal ini, peminjam
tidak dapat mengembalikan tanah tersebut dengan membongkar mayat serta
memindahkannya ke tempat lain, dan pihak yang meminjamkannya hanya dapat
menunggu sampai mayat tersebut habis ditelan tanah.
Ulama
Mazhab Maliki berpendapat bahwa pihak yang meminjamkan barang tidak dapat
mengambil barangnya sebelum dimanfaatkan oleh peminjam. Jika peminjaman itu
mempunyai tenggang waktu, pemilik barang tidak dapat meminta kembali barangnya
sebelum habis waktu peminjaman. Namun, di antara mereka sendiri ada yang
berpendapat bahwa pemilik barang dapat mengambil barangnya kembali jika akad ‘ariyah
dilakukan secara mutlak tanpa syarat.
Sebagai
akad yang sifatnya tolong-menolong, ‘ariyah ini sendiri bersifat amanah
yang tidak dituntut dengan ganti rugi jika barang tersebut rusak, kecuali
kerusakan itu disengaja atau karena kelalaian pihak peminjam. Apabila barang
tersebut hilang atau rusak berat karena pemakaiannya di luar kebiasaan yang berlaku
secara adat, menurut ulama Mazhab Maliki dan Syafi’i, harus dikenakan ganti
rugi sesuai dengan harga barang tersebut. Misalnya, seekor binatang yang tidak
pernah digunakan oleh pemiliknya pada malam hari digunakan peminjam barang
tersebut siang dan malam, sehingga binatang itu sakit atau mati; dalam hal ini,
pihak peminjam harus membayar ganti rugi sesuai dengan harga binatang tersebut.
Ulama
Mazhab Hanbali juga berpendapat sama. Alasan mereka adalah hadis yang
diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud di atas. Selain itu juga
didasarkan pada sebuah hadis Nabi SAW yang diriwayatkan Ahmad bin Hanbal dan Akhrajahu
al-Arba’ah (Abu Dawud, at-Tirmizi, an-Nasa’i, dan Ibnu Majah), “Pihak
pemakai barang menanggung segala resiko kerusakan yang ditimbulkannya”. Menurut
ulama mazhab ini, beda halnya jika yang dipinjam tersebut adalah buku ilmu pengetahuan
atau alat perang untuk jihad; jika hilang tanpa sengaja, tidak dikenai ganti
rugi, karena barang-barang yang dipinjam tersebut menyangkut kemaslahatan umum.
Adapun
ulama Mazhab Hanafi berpendapat bahwa akad ‘ariyah yang semula bersifat
amanah dapat berubah menjadi akad yang dikenakan ganti rugi, apabila ada empat
hal berikut:
1. Barang tersebut sengaja dimusnahkan atau dirusak.
2. Barang itu disewakan atau tidak dipelihara sama sekali.
3. Barang itu tidak dimanfaatkan sesuai dengan adat kebiasaan yang
berlaku atau syarat yang disepakati bersama.
4. Pihak peminjam melakukan sesuatu yang berbeda dengan syarat yang
ditentukan semula.
B.
HIWALAH
Hiwalah berarti pemindahan. Suatu
cara memindahkan tanggung jawab penyelesaian utang dari pihak yang berutang
yang tidak sanggup lagi membayarnya kepada orang lain yang memiliki kemampuan
untuk mengambil alih. Sebagai contoh, A mempunyai utang sebesar Rp. 1.000.000,-
kepada B dan C mempunyai utang kepada A. Karena A pailit, maka tanggung jawab
penyelesaian utang A diambil alih sepenuhnya oleh C, sehingga utang piutang
tersebut menjadi urusan antara B dan C (dalam uraian berikutnya contoh ini akan
digunakan dalam menjelaskan persoalan).
Dalam
banyak hal, ada kesamaan antara hiwalah dan kafalah. Adapun
perbedaannya, dalam kafalah yang dipertanggungjawabkan mencakup utang (uang
atau barang) dan diri atau jiwa, dan yang berutang masih dituntut tanggung
jawab atas penyelesaian utang atau persoalan yang dihadapi; antara yang
berutang dan pengambil alih utang masih ada sangkutan hukum. Pada hiwalah,
yang boleh dipertanggungjawabkan hanya uang dan yang berutang sudah lepas
tanggung jawabnya karena telah diselesaikan oleh pengambil alih. Hubungan
antara yang berutang dan pengambil alih semata-mata karena perbuatan baik (tabarru
atau istihhab).
Menurut
ulama Mazhab Hanafi, seperti Muhammad bin Hasan asy-Syaibani (w. 189 H), Zufar
bin Huzail (w. 158 H/775 M), dan Imam Abu Yusuf (w. 182 H/798 M), ada dua macam
hiwalah.
1. Hiwalah mutlaqah, yaitu akad pengambilalihan beban/utang
seseorang tanpa menyebutkan jenis, batas, dan jumlahnya.
2. Hiwalah muqayyad, yaitu pengambilalihan utang seseorang dengan
menyebutkan batas dan jumlahnya.
Mayoritas
ulama sepakat untuk membolehkan hiwalah bentuk kedua berdasarkan hadis
Nabi SAW yang diriwayatkan oleh al-Baihaki: “Penangguhan (pertolongan atas
orang pailit) dari orang kaya adalah zalim; dan apabila ada seseorang (pailit)
dipindahkan (utangnya) kepada orang kaya, hendaklah (orang pailit itu)
menerimanya, falyattabi’ (ikutilah)”. Hadis yang senada juga
diriwayatkan oleh at-Tabrani dan Ahmad bin Hanbal (Imam Hanbali) dengan
menggunakan kalimat perintah falyahtal (pindahkanlah).
Mayoritas
ulama fikih berpendapat, kalimat perintah falyattabi’ dan falyahtal
pada hadis-hadis tersebut hanya menunjukkan anjuran untuk melakukan hiwalah
sebagai perbuatan yang baik. Namun, Abu Dawud (w. 275 H/888 M) dan Ahmad bin
Hanbal memandang perintah pada kedua hadis tersebut wajib.
Ada
beberapa unsur yang terkait dalam transaksi hiwalah, yaitu al-mahil
(pengambil alih utang dalam contoh di atas C), al-mahal ‘alaihi
(yang berutang, A), al-mahal (orang yang memberi utang, B), dan al-mahal
bihi (utang, Rp. 1.000.000,-). Di samping itu perlu ada ijab kabul; ijab
dari al-mahil serta kabul dari al-mahal dan al-mahal alaihi.
Ijab kabul harus tertulis dan ditandatangani oleh semua pihak yang terkait dan
saksi.
Ada dua syarat al-mahil:
1. Balig, berakal, dan memiliki kompetensi (ahliyyah) untuk
melakukan transaksi.
2. Rela. Jika ada rasa keterpaksaan, hiwalah tidak sah.
Syarat al-mahal dan al-mahal
alaihi ada tiga:
1. Balig, berakal, dan memiliki kompetensi untuk melakukan transaksi.
Jika yang meminjamkan itu anak kecil, transaksi dapat dilakukan oleh walinya.
2. Adanya kerelaan dalam melakukan pengambilalihan.
3. Ijab kabul dilaksanakan dalam suatu tempat dan disaksikan oleh
semua pihak yang terkait.
Adapun syarat al-mahal
bihi adalah sebagai berikut:
1. Berbentuk utang. Jika tidak, akadnya berubah menjadi wakalah
(perwakilan).
2. Status utang itu pasti. Budak yang memerdekakan dirinya dengan
cara mencicil tidak bisa dijadikan objek hiwalah karena pencicilan tidak
dianggap utang secara pasti.
Konsekuensi hukum hiwalah
ada tiga:
1. Pengambil alih utang tidak ada sangkutan utang-piutang dengan yang
berutang.
2. Yang diselesaikan oleh pengambil alih dari yang berutang adalah
utang (ad-dain) dan sekaligus tuntutan (al-matalib).
3. Jiika yang memberikan utang menuntut setelah terjadi akad hiwalah,
maka itu ditujukan kepada pengambil alih, karena yang ada hanya keterkaitan
antara al-mahil dan al-mahal.
Menurut jumhur ulama,
perjanjian hiwalah berakhir jika terjadi hal-hal berikut:
1. Perjanjian itu rusak. Misalnya, ketika sampai pada masa jatuh
tempo, pengambil alih utang ternyata tidak membayar utang tidak membayar utang
yang menjadi tanggung jawabnya kepada yang memberi utang meskipun ia mempunyai
kesanggupan untuk itu. Dalam keadaan seperti ini, tanggung jawab utang kembali
lagi kepada yang berutang untuk mencari pengambil alih yang lain.
2. Hak pengambil alih rusak. Misalnya, disebabkan pengambil alih
meninggal dunia atau pailit.
3. Pengambil alih membayar utang yang menjadi tanggung jawabnya
kepada yang memberi utang.
4. Yang memberi utang meninggal. Dalam keadaan ini, harta hiwalah
menjadi hak ahli warisnya.
5. Yang memberi utang menghibahkan hartanya kepada yang berutang.
6. Yang memberi utang menyedekahkan hartanya kepada yang berutang.
7. Yang memberi utang menghapuskan (memutihkan) tuntutan utang
terhadapa yang berutang atau pengambil alih.
Karena dalam kajian hukum hibah, sedekah, dan ibra’
(penghapusan/pemutihan) memiliki konsekuensi yang berbeda-beda, para ahli fikih
memerincinya (butir 5, 6, dan 7).
Meskipun hiwalah didasarkan atas perbuatan baik, dalam
fikih masih ada ketentuan yang menyangkut hubungan antara yang berutang dan
pengambil alih. (1). Jika ternyata orang yang berutang dalam masa tempo hiwalah
bangkit daan mampu membayar kembali utangnya, maka beban pengambil alih lepas.
(2). Jika yang berutang mendapat hibah, sedekah, atau warisan dari yang memberi
utang, maka pengambil alih mempunyai hak untuk memperoleh sebagian harta itu.
(3). Jika pengambil alih menyelesaikan utang yang menjadi tanggung jawabnya,
maka yang berutang tidak perlu lagi mengembalikan utang kepadanya.
Apabila terjadi perselisihan antara pengambil alih utang dan yang
memberi utang, dapat diselesaikan dengan menggunakan prinsip al-bayyinah
‘ala al-mudda’i wa al-yaminu ‘ala man ankara (bukti autentik bagi yang
menuntut, sumpah bagi yang menyangkal). Jika kedua-duanya mengemukakan alasan
yang sama-sama kuat, dapat diselesaikan melalui pengadilan perdata. Selain itu,
penyelesaian kasus ini dapat juga dilakukan melalui lembaga arbitrase yang
dalam istilah fikih disebut tahkim.
C.
RAHN
Rahn berarti tetap, kekal, sinambung, dan
tertahan/jaminan. Sarana tolong-menolong bagi umat Islam tanpa adanya imbalan
jasa. Orang yang berutang (rahin) tidak harus menjual barangnya untuk
mendapatkan uang, dan pemilik uang (murtahin) tidak perlu khawatir
piutangnya tidak akan kembali, karena sudah ada barang jaminan utang.
Ulama Mazhab Hanafi mendefinisikan rahn
sebagai menjadikan sesuatu (barang) sebagai jaminan terhadap hak (piutang) yang
mungkin dijadikan sebagai pembayar hak tersebut. Ulama Mazhab Syafi’i dan
Hanbali mendefinisikannya sebagai menjadikan materi (barang) sebagai jaminan
terhadap utang, yang secara paksa dapat dijadikan pembayar utang apabila rahin
tidak dapat membayar utangnya. Sementara ulama Mazhab Maliki menambahkan bahwa
yang menjadi jaminan tersebut tidak hanya berupa materi (‘ain), tetapi
dapat juga berupa manfaat, asal jangka waktu dan bentuk jasa yang diberikan
cukup jelas. Selain itu barang yang dijadikan jaminan tersebut tidak harus
berpindah tangan, tetapi cukup melalui ijab (ungkapan penyerahan barang jaminan
oleh rahin) dan kabul (ungkapan menerima jaminan dan penyerahan uang
tunai oleh murtahin) saja.
Perbedaan mendasar antara rahn dan
gadai yang ada di Indonesia yaitu pada imbalan jasa atau persentase tertentu
dari pokok utang. Utang-piutang dalam rahn pada prinsipnya tidak membawa
risiko imbalan jasa. Murtahin tidak menerima keuntungan apa-apa dari
pinjaman yang ia berikan. Imbalan jasa, oleh para ulama, dianggap riba, karena rahn
dalam Islam hanya merupakan sarana tolong-menolong tanpa ada imbalan jasa yang
harus diterima oleh murtahin. Lain halnya dalam gadai, imbalan jasa
harus dipenuhi oleh rahin.
Akad rahn mempunyai dasar yang kuat
dalam Al-Quran dan sunah Rasulullah SAW. Di dalam Al-Quran, Allah SWT berfirman
pada QS. Al-Baqarah ayat 283:
* bÎ)ur óOçFZä. 4n?tã 9xÿy öNs9ur (#rßÉfs? $Y6Ï?%x. Ö`»ydÌsù ×p|Êqç7ø)¨B ( ÷bÎ*sù z`ÏBr& Nä3àÒ÷èt/ $VÒ÷èt/ Ïjxsãù=sù Ï%©!$# z`ÏJè?øt$# ¼çmtFuZ»tBr& È,Guø9ur ©!$# ¼çm/u 3 wur (#qßJçGõ3s? noy»yg¤±9$# 4 `tBur $ygôJçGò6t ÿ¼çm¯RÎ*sù ÖNÏO#uä ¼çmç6ù=s% 3 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ÒOÎ=tæ ÇËÑÌÈ
Artinya:
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu
tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang
dipegang[6]
(oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian
yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya)
dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para
saksi) Menyembunyikan persaksian. dan Barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka
Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui
apa yang kamu kerjakan.”
Sekalipun
ayat di atas menunjukkan akad rahn tersebut dalam perjalanan (safar),
tetapi para ulama sepakat bahwa tidak berarti di luar perjalanan (di tempat
tinggal) tidak boleh dilakukan akad rahn, asal barang jaminan itu dapat
langsung dipegang/dikuasai secara hukum oleh murtahin. Tidak semua
barang jaminan dapat langsung dipegang/dikuasai murtahin. Misalnya, bila
jaminan berupa sebidang tanah, maka yang dipegang oleh pemberi utang adalah
sertifikat tanah tersebut, bukan tanahnya.
Adapun
dasar hukum rahn dalam sunah Rasulullah SAW antara lain adalah hadis
dari Aisyah yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Aisyah menceritakan
bahwa Rasulullah SAW membeli makanan dari seorang Yahudi dengan menjadikan baju
besinya sebagai barang jaminan. Dalam riwayat lain, Anas bin Malik (sahabat
Nabi SAW) menceritakan bahwa Rasulullah SAW menjadikan baju besinya sebagai
jaminan utang pada seorang Yahudi, lalu dengan uang tersebut ia membeli gandum
untuk kelurganya (HR. Ahmad bin Hanbal, Bukhari, An-Nasa’i, dan Ibnu Majah).
Berdasarkan ayat dan hadis di atas, para ulama mengatakan bahwa akad rahn
itu dibolehkan, karena banyak kemaslahatan yang terkandung di dalamnya dalam
rangka hubungan antarsesama manusia.
Sebagai
sebuah transaksi, syarat-syarat rahn meliputi: syarat orang yang berakad
dan syarat barang jaminan. Syarat orang yang berakad adalah cakap bertindak
hukum. Anak kecil, orang gila, orang di bawah pengampuan, dan yang sejenisnya,
tidak dapat melakukan akad ini, baik ia sebagai rahin maupun murtahin,
karena rahn adalah akad yang berkaitan langsung dengan permasalahan
harta. Sementara itu, sigah (lafal) akad rahn tidak boleh terkait
dengan dengan syarat apa pun. Misalnya, disyaratkan bahwa jika tenggang waktu
pelunasan utang habis, barang jaminan tersebut tidak boleh dijual, kecuali
setelah beberapa lama. Syarat seperti ini tidak boleh ada, karena dapat
merugikan orang yang memberi utang. Tetapi jika syarat yang dikemukakan
tersebut menguntungkan akad itu sendiri, seperti akad itu harus disaksikan oleh
dua orang saksi, maka syarat seperti ini dibolehkan, karena sifatnya lebih
memperjelas dan mempertegas status barang jaminan tersebut.
Syarat
barang jaminan adalah sebagai berikut:
1. Barang itu milik rahin.
2. Nilai barang jaminan diperkirakan seimbang dengan nilai utang.
3. Identitas barang jaminan cukup jelas, seperti satu hektare tanah
di tempat tertentu dengan batas-batas yang jelas.
4. Barang jaminan merupakan barang yang halal bagi seorang muslim.
5. Barang itu bisa diserahkan, baik bendanya maupun manfaatnya.
6. Barang jaminan tersebut bisa dijual.
Akad rahn
baru dikatakan sempurna apabila syarat-syarat di atas terpenuhi, uang yang
dibutuhkan telah diterima oleh rahin, dan barang jaminan telah dikuasai
oleh murtahin secara hukum (qabdu al-marhun). Syarat yang
terakhir ini menjadi sangat penting karena didasarkan pada firman Allah SWT
dalam surat Al-Baqarah ayat 283 di atas.
Para
ulama berbeda pendapat dalam hal pemanfaatan barang jaminan oleh murtahin.
Jumhur ulama selain ulama Mazhab Hanbali berpendirian bahwa murtahin
tidak boleh memanfaatkan barang jaminan tersebut, karena barang itu bukan
miliknya secara penuh. Haknya terhadap barang yang dipegangnya hanyalah sebagai
pemegang barang jaminan utang yang ia berikan. Apabila rahin tidak mampu
melunasi utangnya, barulah ia bisa menjual atau menghargai barang tersebut
sebagai pelunasan piutangnya. Mereka mendasarkan pendiriannya pada sabda
Rasulullah SAW yang artinya: “Barang jaminan tidak boleh disembunyikan dari
pemiliknya, karena hasil (dari barang jaminan) dan resiko (yang timbul atas
barang tersebut) menjadi tanggung jawabnya” (HR. Al-Hakim, al-Baihaki, dan Ibnu
Hibban dari Abu Hurairah).
Ulama
Mazhab Hanbali mengatakan bahwa murtahin boleh memanfaatkan barang
jaminan apabila barang tersebut berupa binatang ternak, sesuai dengan biaya
yang dikeluarkannya untuk pemeliharaan ternak tersebut. Pendapat ini didasarkan
pada sabda Rasulullah SAW yang artinya: “Binatang ternak jika dijadikan barang
jaminan utang (rahn) boleh dikendarai atau diambil air susunya, sesuai
dengan biaya yang dikeluarkan untuk pemeliharaan hewan tersebut” (HR. Bukhari,
at-Tirmizi, dan Abu Dawud dari Abu Hurairah).
Ulama
dari kalangan Mazhab Hanafi mengatakan, jika yang dijadikan barang jaminan
adalah hewan ternak, maka murtahin baru dapat memanfaatkan hewan
tersebut apabila mendapat izin dari rahin. Akan tetapi ulama Mazhab
Maliki mengatakan bahwa murtahin boleh memanfaatkan hewan ternak yang
dijadikan barang jaminan, apabila hewan tersebut dibiarkan saja tanpa diurus
oleh rahin.
Para
ulama juga berbeda pendapat dalam pemanfaatan barang jaminan oleh rahin.
Jumhur ulama selain ulama Mazhab Syafi’i mengatakan, rahin tidak boleh
menggunakan barang yang tengah dijadikannya jaminan utang. Menurut ulama Mazhab
Hanafi, rahin baru boleh memanfaatkan barang jaminan jika diizinkan oleh
murtahin, demikian juga sebaliknya. Pendapat yang sama juga dikemukakan
oleh ulama Mazhab Hanbali. Mereka mempunyai prinsip bahwa segala hasil dan
resiko dari barang jaminan mengikuti barang itu sendiri. Dengan demikian
apabila barang itu menghasilkan atau merugikan, maka segalanya ikut menjadi
jaminan bersama barang tersebut. Kedua belah pihak apabila ingin memanfaatkan
barang tersebut haruslah mendapat izin dari pihak lain. Sementara itu ulama
Mazhab Maliki mengatakan, bahwa sekalipun mendapat izin dari murtahin, rahin
tidak boleh memanfaatkan barang tersebut.
Akan
tetapi ulama Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa rahin boleh memanfaatkan
barang yang telah dijadikan jaminan utang asal tidak mengurangi kualitas dan kuantitas barang itu, karena
untung rugi barang tersebut menjadi hak rahin, sesuai dengan makna hadis
riwayat Bukhari, at-Tirmizi, dan Abu Dawud dari Abu Hurairah di atas. Namun apabila pemanfaatan barang jaminan itu
oleh rahin berakibat merugikan barang itu sendiri secara kuantitas atau
kualitas, maka ia tidak boleh memanfaatkannya.
Kekhawatiran
para ulama tentang pemanfaatan barang jaminan baik oleh rahin maupun murtahin
adalah agar kedua belah pihak tidak dikategorikan sebagai pemakan riba. Para
ulama juga menetapkan bahwa apabila ketika akad berlangsung ditetapkan syarat
bolehnya pemanfaatan barang jaminan oleh kedua belah pihak, maka akad tersebut
dianggap tidak sah, sebab hal ini bertentangan dengan akad rahn yang
sifatnya hanya sebagai jaminan/kepercayaan saja.
Tentang
nafkah barang yang dijadikan jaminan tersebut, para ulama sepakat bahwa nafkah
tersebut menjadi tanggung jawab rahin, sesuai dengan hadis Rasulullah
SAW yang diriwayatkan oleh Bukhari, at-Tirmizi, dan Abu Dawud di atas. Tetapi
ulama Mazhab Hanafi tetap melibatkan pembiayaan ini kepada murtahin,
karena menurut mereka, barang tersebut menjadi amanah di tangannya dan amanah
harus dipelihara oleh pemegangnya. Oleh sebab itu, segala biaya yang diperlukan
untuk keutuhan barang tersebut juga menjadi tanggung jawab murtahin.
[1] Syi'ar Allah Ialah: segala amalan yang dilakukan dalam
rangka ibadat haji dan tempat-tempat mengerjakannya.
[2] Maksudnya antara lain Ialah: bulan Haram (bulan
Zulkaidah, Zulhijjah, Muharram dan Rajab), tanah Haram (Mekah) dan Ihram.,
Maksudnya Ialah: dilarang melakukan peperangan di bulan-bulan itu.
[3] Ialah: binatang (unta, lembu, kambing, biri-biri) yang
dibawa ke ka'bah untuk mendekatkan diri kepada Allah, disembelih ditanah Haram
dan dagingnya dihadiahkan kepada fakir miskin dalam rangka ibadat haji.
[4] Ialah: binatang had-ya yang diberi kalung, supaya
diketahui orang bahwa binatang itu telah diperuntukkan untuk dibawa ke Ka'bah.
[5] Dimaksud dengan karunia Ialah: Keuntungan yang
diberikan Allah dalam perniagaan. keredhaan dari Allah Ialah: pahala amalan haji.
[6] Barang tanggungan (borg) itu diadakan bila satu sama
lain tidak percaya mempercayai.