Rabu, 11 April 2012

Mu'amalat


A.           ‘ARIYAH
Secara etimologi berarti pergi dan kembali atau beredar. Secara kebahasaan berarti pinjam-meminjam. ‘ariyah sebagai sebuah akad merupakan suatu sarana dalam Islam untuk saling menolong di antara sesama manusia tanpa pamrih.
Ulama Mazhab Maliki merumuskan ‘ariyah sebagai kebebasan memanfaatkan sesuatu tanpa ganti rugi; ulama Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hanbali mendefinisikannya sebagai kebolehan memanfaatkan barang orang lain tanpa ganti rugi. Perbedaan kedua definisi ini terlihat ketika muncul persoalan apakah orang yang meminjam barang tersebut dibolehkan untuk meminjamkan pula kepada orang lain untuk dimanfaatkan. Menurut definisi pertama yang dikemukakan oleh Imam as-Sarakhsi (w. 483 H/1090 M), ahli fikih dan usul fikih Mazhab Hanafi, orang yang memanfaatkan barang itu boleh meminjamkannya kepada orang lain tanpa ganti rugi. Adapun menurut definisi ulama Mazhab Syafi’i dan Hanbali, orang yang meminjam barang itu tidak dibenarkan meminjamkannya lagi kepada orang lain.
‘Ariyah sebagai sarana tolong-menolong antara sesama manusia didasarkan pada firman Allah SWT dalam surah al-Ma’idah ayat 2:
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä Ÿw (#q=ÏtéB uŽÈµ¯»yèx© «!$# Ÿwur tök¤9$# tP#tptø:$# Ÿwur yôolù;$# Ÿwur yÍ´¯»n=s)ø9$# Iwur tûüÏiB!#uä |MøŠt7ø9$# tP#tptø:$# tbqäótGö6tƒ WxôÒsù `ÏiB öNÍkÍh5§ $ZRºuqôÊÍur 4 #sŒÎ)ur ÷Läêù=n=ym (#rߊ$sÜô¹$$sù 4 Ÿwur öNä3¨ZtB̍øgs ãb$t«oYx© BQöqs% br& öNà2r|¹ Ç`tã ÏÉfó¡yJø9$# ÏQ#tptø:$# br& (#rßtG÷ès? ¢ (#qçRur$yès?ur n?tã ÎhŽÉ9ø9$# 3uqø)­G9$#ur ( Ÿwur (#qçRur$yès? n?tã ÉOøOM}$# Èbºurôãèø9$#ur 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# ( ¨bÎ) ©!$# ߃Ïx© É>$s)Ïèø9$# ÇËÈ  
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah[1], dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram[2], jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya[3], dan binatang-binatang qalaa-id[4], dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keredhaan dari Tuhannya[5] dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, Maka bolehlah berburu. dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.
Dasar hukum lain yang membolehkan akad ‘ariyah ini adalah hadis Nabi SAW. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abu Sufyan bin Umayyah dikatakan bahwa Rasulullah SAW meminjam kuda Abu Talhah dan mengendarainya. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abu Sufyan juga dikatakan bahwa Rasulullah SAW meminjam baju perang Abu Sufyan. Lalu Abu Sufyan berkata, “Apakah hal ini merupakan pemakaian tanpa izin (ghasab) wahai Muhammad?” Rasulullah SAW menjawab, “Tidak, ini saya pinjam dengan jaminan.”
Karena menyangkut pemindahan hak pemanfaatan barang, maka ‘ariyah mempunyai syarat yang harus dipenuhi. Para ulama mengemukakan syaratnya sebagai berikut:
1.    Peminjam adalah orang yang telah berakal, sehingga dapat dipercayai untuk memelihara barang ‘ariyah ini.
2.    Barang yang dipinjamkan bukan barang yang habis jika dipakai, seperti rumah, tanah, pakaian, dan binatang ternak.
3.    Barang yang dipinjamkan dapat dikuasai secara langsung oleh peminjam.
Sehubungan dengan itu, barang yang dipinjamkan itu tidak boleh dimanfaatkan peminjam dalam hal yang dilarang agama. Misalnya, senjata dengan segala perangkatnya tidak boleh dipinjamkan kepada kafir harbi (kafir yang memusuhi Islam).
Persoalan lain yang dibahas oleh para ulama adalah segi kualitas dan kuantitas pemanfaatan barang tersebut oleh peminjam, apakah secara mutlak ia dapat memanfaatkan barang tersebut atau dalam bentuk terbatas sesuai dengan izin yang meminjamkan. Dalam kaitan ini, para ulama mengatakan bahwa hal itu tergantung kepada akadnya. Apabila peminjaman tersebut dilakukan secara mutlak, maka peminjam berhak untuk memanfaatkan barang tersebut sesuai dengan keinginannya, baik digunakannya sendiri maupun digunakan orang lain. Menurut ulama Mazhab Hanafi, jika seseorang meminjam mobil yang tidak dibatasi penggunaan, waktu, dan tempatnya, maka peminjam boleh memakainya di mana saja selama diinginkannya serta meminjamkannya kepada orang lain. Apabila pemilik barang memberikan pinjaman barang dengan batasan waktu, tempat, dan pemakaian, maka peminjam terikat dengan syarat yang ditentukan. Apabila syarat tersebut tidak diindahkannya, maka segala resiko kerugian barang pinjaman menjadi tanggungan peminjam.
Para ulama berbeda pendapat mengenai status hukum akad ‘ariyah, apakah boleh dibatalkan sepihak oleh pemiliknya atau tidak. Menurut ulama Mazhab Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali, sifat akad ‘ariyah tidak mengikat bagi kedua belah pihak. Pihak yang meminjamkan dapat membatalkan pinjaman tersebut kapan saja ia mau dan pihak peminjam juga dapat mengembalikan barang kapan saja, tanpa membedakan apakah peminjaman itu bersifat mutlak atau dengan syarat tertentu. Ada pengecualian jika pembatalan akad tersebut membawa mudharat bagi peminjam, seperti tanah yang dipinjam untuk menguburkan mayat. Dalam hal ini, peminjam tidak dapat mengembalikan tanah tersebut dengan membongkar mayat serta memindahkannya ke tempat lain, dan pihak yang meminjamkannya hanya dapat menunggu sampai mayat tersebut habis ditelan tanah.
Ulama Mazhab Maliki berpendapat bahwa pihak yang meminjamkan barang tidak dapat mengambil barangnya sebelum dimanfaatkan oleh peminjam. Jika peminjaman itu mempunyai tenggang waktu, pemilik barang tidak dapat meminta kembali barangnya sebelum habis waktu peminjaman. Namun, di antara mereka sendiri ada yang berpendapat bahwa pemilik barang dapat mengambil barangnya kembali jika akad ‘ariyah dilakukan secara mutlak tanpa syarat.
Sebagai akad yang sifatnya tolong-menolong, ‘ariyah ini sendiri bersifat amanah yang tidak dituntut dengan ganti rugi jika barang tersebut rusak, kecuali kerusakan itu disengaja atau karena kelalaian pihak peminjam. Apabila barang tersebut hilang atau rusak berat karena pemakaiannya di luar kebiasaan yang berlaku secara adat, menurut ulama Mazhab Maliki dan Syafi’i, harus dikenakan ganti rugi sesuai dengan harga barang tersebut. Misalnya, seekor binatang yang tidak pernah digunakan oleh pemiliknya pada malam hari digunakan peminjam barang tersebut siang dan malam, sehingga binatang itu sakit atau mati; dalam hal ini, pihak peminjam harus membayar ganti rugi sesuai dengan harga binatang tersebut.
Ulama Mazhab Hanbali juga berpendapat sama. Alasan mereka adalah hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud di atas. Selain itu juga didasarkan pada sebuah hadis Nabi SAW yang diriwayatkan Ahmad bin Hanbal dan Akhrajahu al-Arba’ah (Abu Dawud, at-Tirmizi, an-Nasa’i, dan Ibnu Majah), “Pihak pemakai barang menanggung segala resiko kerusakan yang ditimbulkannya”. Menurut ulama mazhab ini, beda halnya jika yang dipinjam tersebut adalah buku ilmu pengetahuan atau alat perang untuk jihad; jika hilang tanpa sengaja, tidak dikenai ganti rugi, karena barang-barang yang dipinjam tersebut menyangkut kemaslahatan umum.
Adapun ulama Mazhab Hanafi berpendapat bahwa akad ‘ariyah yang semula bersifat amanah dapat berubah menjadi akad yang dikenakan ganti rugi, apabila ada empat hal berikut:
1.    Barang tersebut sengaja dimusnahkan atau dirusak.
2.    Barang itu disewakan atau tidak dipelihara sama sekali.
3.    Barang itu tidak dimanfaatkan sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku atau syarat yang disepakati bersama.
4.    Pihak peminjam melakukan sesuatu yang berbeda dengan syarat yang ditentukan semula.
B.            HIWALAH
Hiwalah berarti pemindahan. Suatu cara memindahkan tanggung jawab penyelesaian utang dari pihak yang berutang yang tidak sanggup lagi membayarnya kepada orang lain yang memiliki kemampuan untuk mengambil alih. Sebagai contoh, A mempunyai utang sebesar Rp. 1.000.000,- kepada B dan C mempunyai utang kepada A. Karena A pailit, maka tanggung jawab penyelesaian utang A diambil alih sepenuhnya oleh C, sehingga utang piutang tersebut menjadi urusan antara B dan C (dalam uraian berikutnya contoh ini akan digunakan dalam menjelaskan persoalan).
Dalam banyak hal, ada kesamaan antara hiwalah dan kafalah. Adapun perbedaannya, dalam kafalah yang dipertanggungjawabkan mencakup utang (uang atau barang) dan diri atau jiwa, dan yang berutang masih dituntut tanggung jawab atas penyelesaian utang atau persoalan yang dihadapi; antara yang berutang dan pengambil alih utang masih ada sangkutan hukum. Pada hiwalah, yang boleh dipertanggungjawabkan hanya uang dan yang berutang sudah lepas tanggung jawabnya karena telah diselesaikan oleh pengambil alih. Hubungan antara yang berutang dan pengambil alih semata-mata karena perbuatan baik (tabarru atau istihhab).
Menurut ulama Mazhab Hanafi, seperti Muhammad bin Hasan asy-Syaibani (w. 189 H), Zufar bin Huzail (w. 158 H/775 M), dan Imam Abu Yusuf (w. 182 H/798 M), ada dua macam hiwalah.
1.    Hiwalah mutlaqah, yaitu akad pengambilalihan beban/utang seseorang tanpa menyebutkan jenis, batas, dan jumlahnya.
2.    Hiwalah muqayyad, yaitu pengambilalihan utang seseorang dengan menyebutkan batas dan jumlahnya.
Mayoritas ulama sepakat untuk membolehkan hiwalah bentuk kedua berdasarkan hadis Nabi SAW yang diriwayatkan oleh al-Baihaki: “Penangguhan (pertolongan atas orang pailit) dari orang kaya adalah zalim; dan apabila ada seseorang (pailit) dipindahkan (utangnya) kepada orang kaya, hendaklah (orang pailit itu) menerimanya, falyattabi’ (ikutilah)”. Hadis yang senada juga diriwayatkan oleh at-Tabrani dan Ahmad bin Hanbal (Imam Hanbali) dengan menggunakan kalimat perintah falyahtal (pindahkanlah).
Mayoritas ulama fikih berpendapat, kalimat perintah falyattabi’ dan falyahtal pada hadis-hadis tersebut hanya menunjukkan anjuran untuk melakukan hiwalah sebagai perbuatan yang baik. Namun, Abu Dawud (w. 275 H/888 M) dan Ahmad bin Hanbal memandang perintah pada kedua hadis tersebut wajib.
Ada beberapa unsur yang terkait dalam transaksi hiwalah, yaitu al-mahil (pengambil alih utang dalam contoh di atas C), al-mahal ‘alaihi (yang berutang, A), al-mahal (orang yang memberi utang, B), dan al-mahal bihi (utang, Rp. 1.000.000,-). Di samping itu perlu ada ijab kabul; ijab dari al-mahil serta kabul dari al-mahal dan al-mahal alaihi. Ijab kabul harus tertulis dan ditandatangani oleh semua pihak yang terkait dan saksi.
Ada dua syarat al-mahil:
1.    Balig, berakal, dan memiliki kompetensi (ahliyyah) untuk melakukan transaksi.
2.    Rela. Jika ada rasa keterpaksaan, hiwalah tidak sah.
Syarat al-mahal dan al-mahal alaihi ada tiga:
1.    Balig, berakal, dan memiliki kompetensi untuk melakukan transaksi. Jika yang meminjamkan itu anak kecil, transaksi dapat dilakukan oleh walinya.
2.    Adanya kerelaan dalam melakukan pengambilalihan.
3.    Ijab kabul dilaksanakan dalam suatu tempat dan disaksikan oleh semua pihak yang terkait.
Adapun syarat al-mahal bihi adalah sebagai berikut:
1.    Berbentuk utang. Jika tidak, akadnya berubah menjadi wakalah (perwakilan).
2.    Status utang itu pasti. Budak yang memerdekakan dirinya dengan cara mencicil tidak bisa dijadikan objek hiwalah karena pencicilan tidak dianggap utang secara pasti.
Konsekuensi hukum hiwalah ada tiga:
1.    Pengambil alih utang tidak ada sangkutan utang-piutang dengan yang berutang.
2.    Yang diselesaikan oleh pengambil alih dari yang berutang adalah utang (ad-dain) dan sekaligus tuntutan (al-matalib).
3.    Jiika yang memberikan utang menuntut setelah terjadi akad hiwalah, maka itu ditujukan kepada pengambil alih, karena yang ada hanya keterkaitan antara al-mahil dan al-mahal.
Menurut jumhur ulama, perjanjian hiwalah berakhir jika terjadi hal-hal berikut:
1.    Perjanjian itu rusak. Misalnya, ketika sampai pada masa jatuh tempo, pengambil alih utang ternyata tidak membayar utang tidak membayar utang yang menjadi tanggung jawabnya kepada yang memberi utang meskipun ia mempunyai kesanggupan untuk itu. Dalam keadaan seperti ini, tanggung jawab utang kembali lagi kepada yang berutang untuk mencari pengambil alih yang lain.
2.    Hak pengambil alih rusak. Misalnya, disebabkan pengambil alih meninggal dunia atau pailit.
3.    Pengambil alih membayar utang yang menjadi tanggung jawabnya kepada yang memberi utang.
4.    Yang memberi utang meninggal. Dalam keadaan ini, harta hiwalah menjadi hak ahli warisnya.
5.    Yang memberi utang menghibahkan hartanya kepada yang berutang.
6.    Yang memberi utang menyedekahkan hartanya kepada yang berutang.
7.    Yang memberi utang menghapuskan (memutihkan) tuntutan utang terhadapa yang berutang atau pengambil alih.
Karena dalam kajian hukum hibah, sedekah, dan ibra’ (penghapusan/pemutihan) memiliki konsekuensi yang berbeda-beda, para ahli fikih memerincinya (butir 5, 6, dan 7).
Meskipun hiwalah didasarkan atas perbuatan baik, dalam fikih masih ada ketentuan yang menyangkut hubungan antara yang berutang dan pengambil alih. (1). Jika ternyata orang yang berutang dalam masa tempo hiwalah bangkit daan mampu membayar kembali utangnya, maka beban pengambil alih lepas. (2). Jika yang berutang mendapat hibah, sedekah, atau warisan dari yang memberi utang, maka pengambil alih mempunyai hak untuk memperoleh sebagian harta itu. (3). Jika pengambil alih menyelesaikan utang yang menjadi tanggung jawabnya, maka yang berutang tidak perlu lagi mengembalikan utang kepadanya.
Apabila terjadi perselisihan antara pengambil alih utang dan yang memberi utang, dapat diselesaikan dengan menggunakan prinsip al-bayyinah ‘ala al-mudda’i wa al-yaminu ‘ala man ankara (bukti autentik bagi yang menuntut, sumpah bagi yang menyangkal). Jika kedua-duanya mengemukakan alasan yang sama-sama kuat, dapat diselesaikan melalui pengadilan perdata. Selain itu, penyelesaian kasus ini dapat juga dilakukan melalui lembaga arbitrase yang dalam istilah fikih disebut tahkim.
C.           RAHN
Rahn berarti tetap, kekal, sinambung, dan tertahan/jaminan. Sarana tolong-menolong bagi umat Islam tanpa adanya imbalan jasa. Orang yang berutang (rahin) tidak harus menjual barangnya untuk mendapatkan uang, dan pemilik uang (murtahin) tidak perlu khawatir piutangnya tidak akan kembali, karena sudah ada barang jaminan utang.
Ulama Mazhab Hanafi mendefinisikan rahn sebagai menjadikan sesuatu (barang) sebagai jaminan terhadap hak (piutang) yang mungkin dijadikan sebagai pembayar hak tersebut. Ulama Mazhab Syafi’i dan Hanbali mendefinisikannya sebagai menjadikan materi (barang) sebagai jaminan terhadap utang, yang secara paksa dapat dijadikan pembayar utang apabila rahin tidak dapat membayar utangnya. Sementara ulama Mazhab Maliki menambahkan bahwa yang menjadi jaminan tersebut tidak hanya berupa materi (‘ain), tetapi dapat juga berupa manfaat, asal jangka waktu dan bentuk jasa yang diberikan cukup jelas. Selain itu barang yang dijadikan jaminan tersebut tidak harus berpindah tangan, tetapi cukup melalui ijab (ungkapan penyerahan barang jaminan oleh rahin) dan kabul (ungkapan menerima jaminan dan penyerahan uang tunai oleh murtahin) saja.
Perbedaan mendasar antara rahn dan gadai yang ada di Indonesia yaitu pada imbalan jasa atau persentase tertentu dari pokok utang. Utang-piutang dalam rahn pada prinsipnya tidak membawa risiko imbalan jasa. Murtahin tidak menerima keuntungan apa-apa dari pinjaman yang ia berikan. Imbalan jasa, oleh para ulama, dianggap riba, karena rahn dalam Islam hanya merupakan sarana tolong-menolong tanpa ada imbalan jasa yang harus diterima oleh murtahin. Lain halnya dalam gadai, imbalan jasa harus dipenuhi oleh rahin.
Akad rahn mempunyai dasar yang kuat dalam Al-Quran dan sunah Rasulullah SAW. Di dalam Al-Quran, Allah SWT berfirman pada QS. Al-Baqarah ayat 283:
* bÎ)ur óOçFZä. 4n?tã 9xÿy öNs9ur (#rßÉfs? $Y6Ï?%x. Ö`»yd̍sù ×p|Êqç7ø)¨B ( ÷bÎ*sù z`ÏBr& Nä3àÒ÷èt/ $VÒ÷èt/ ÏjŠxsãù=sù Ï%©!$# z`ÏJè?øt$# ¼çmtFuZ»tBr& È,­Guø9ur ©!$# ¼çm­/u 3 Ÿwur (#qßJçGõ3s? noy»yg¤±9$# 4 `tBur $ygôJçGò6tƒ ÿ¼çm¯RÎ*sù ÖNÏO#uä ¼çmç6ù=s% 3 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ÒOŠÎ=tæ ÇËÑÌÈ  
Artinya: “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang[6] (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) Menyembunyikan persaksian. dan Barangsiapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Sekalipun ayat di atas menunjukkan akad rahn tersebut dalam perjalanan (safar), tetapi para ulama sepakat bahwa tidak berarti di luar perjalanan (di tempat tinggal) tidak boleh dilakukan akad rahn, asal barang jaminan itu dapat langsung dipegang/dikuasai secara hukum oleh murtahin. Tidak semua barang jaminan dapat langsung dipegang/dikuasai murtahin. Misalnya, bila jaminan berupa sebidang tanah, maka yang dipegang oleh pemberi utang adalah sertifikat tanah tersebut, bukan tanahnya.
Adapun dasar hukum rahn dalam sunah Rasulullah SAW antara lain adalah hadis dari Aisyah yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Aisyah menceritakan bahwa Rasulullah SAW membeli makanan dari seorang Yahudi dengan menjadikan baju besinya sebagai barang jaminan. Dalam riwayat lain, Anas bin Malik (sahabat Nabi SAW) menceritakan bahwa Rasulullah SAW menjadikan baju besinya sebagai jaminan utang pada seorang Yahudi, lalu dengan uang tersebut ia membeli gandum untuk kelurganya (HR. Ahmad bin Hanbal, Bukhari, An-Nasa’i, dan Ibnu Majah). Berdasarkan ayat dan hadis di atas, para ulama mengatakan bahwa akad rahn itu dibolehkan, karena banyak kemaslahatan yang terkandung di dalamnya dalam rangka hubungan antarsesama manusia.
Sebagai sebuah transaksi, syarat-syarat rahn meliputi: syarat orang yang berakad dan syarat barang jaminan. Syarat orang yang berakad adalah cakap bertindak hukum. Anak kecil, orang gila, orang di bawah pengampuan, dan yang sejenisnya, tidak dapat melakukan akad ini, baik ia sebagai rahin maupun murtahin, karena rahn adalah akad yang berkaitan langsung dengan permasalahan harta. Sementara itu, sigah (lafal) akad rahn tidak boleh terkait dengan dengan syarat apa pun. Misalnya, disyaratkan bahwa jika tenggang waktu pelunasan utang habis, barang jaminan tersebut tidak boleh dijual, kecuali setelah beberapa lama. Syarat seperti ini tidak boleh ada, karena dapat merugikan orang yang memberi utang. Tetapi jika syarat yang dikemukakan tersebut menguntungkan akad itu sendiri, seperti akad itu harus disaksikan oleh dua orang saksi, maka syarat seperti ini dibolehkan, karena sifatnya lebih memperjelas dan mempertegas status barang jaminan tersebut.
Syarat barang jaminan adalah sebagai berikut:
1.    Barang itu milik rahin.
2.    Nilai barang jaminan diperkirakan seimbang dengan nilai utang.
3.    Identitas barang jaminan cukup jelas, seperti satu hektare tanah di tempat tertentu dengan batas-batas yang jelas.
4.    Barang jaminan merupakan barang yang halal bagi seorang muslim.
5.    Barang itu bisa diserahkan, baik bendanya maupun manfaatnya.
6.    Barang jaminan tersebut bisa dijual.
Akad rahn baru dikatakan sempurna apabila syarat-syarat di atas terpenuhi, uang yang dibutuhkan telah diterima oleh rahin, dan barang jaminan telah dikuasai oleh murtahin secara hukum (qabdu al-marhun). Syarat yang terakhir ini menjadi sangat penting karena didasarkan pada firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 283 di atas.
Para ulama berbeda pendapat dalam hal pemanfaatan barang jaminan oleh murtahin. Jumhur ulama selain ulama Mazhab Hanbali berpendirian bahwa murtahin tidak boleh memanfaatkan barang jaminan tersebut, karena barang itu bukan miliknya secara penuh. Haknya terhadap barang yang dipegangnya hanyalah sebagai pemegang barang jaminan utang yang ia berikan. Apabila rahin tidak mampu melunasi utangnya, barulah ia bisa menjual atau menghargai barang tersebut sebagai pelunasan piutangnya. Mereka mendasarkan pendiriannya pada sabda Rasulullah SAW yang artinya: “Barang jaminan tidak boleh disembunyikan dari pemiliknya, karena hasil (dari barang jaminan) dan resiko (yang timbul atas barang tersebut) menjadi tanggung jawabnya” (HR. Al-Hakim, al-Baihaki, dan Ibnu Hibban dari Abu Hurairah).
Ulama Mazhab Hanbali mengatakan bahwa murtahin boleh memanfaatkan barang jaminan apabila barang tersebut berupa binatang ternak, sesuai dengan biaya yang dikeluarkannya untuk pemeliharaan ternak tersebut. Pendapat ini didasarkan pada sabda Rasulullah SAW yang artinya: “Binatang ternak jika dijadikan barang jaminan utang (rahn) boleh dikendarai atau diambil air susunya, sesuai dengan biaya yang dikeluarkan untuk pemeliharaan hewan tersebut” (HR. Bukhari, at-Tirmizi, dan Abu Dawud dari Abu Hurairah).
Ulama dari kalangan Mazhab Hanafi mengatakan, jika yang dijadikan barang jaminan adalah hewan ternak, maka murtahin baru dapat memanfaatkan hewan tersebut apabila mendapat izin dari rahin. Akan tetapi ulama Mazhab Maliki mengatakan bahwa murtahin boleh memanfaatkan hewan ternak yang dijadikan barang jaminan, apabila hewan tersebut dibiarkan saja tanpa diurus oleh rahin.
Para ulama juga berbeda pendapat dalam pemanfaatan barang jaminan oleh rahin. Jumhur ulama selain ulama Mazhab Syafi’i mengatakan, rahin tidak boleh menggunakan barang yang tengah dijadikannya jaminan utang. Menurut ulama Mazhab Hanafi, rahin baru boleh memanfaatkan barang jaminan jika diizinkan oleh murtahin, demikian juga sebaliknya. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh ulama Mazhab Hanbali. Mereka mempunyai prinsip bahwa segala hasil dan resiko dari barang jaminan mengikuti barang itu sendiri. Dengan demikian apabila barang itu menghasilkan atau merugikan, maka segalanya ikut menjadi jaminan bersama barang tersebut. Kedua belah pihak apabila ingin memanfaatkan barang tersebut haruslah mendapat izin dari pihak lain. Sementara itu ulama Mazhab Maliki mengatakan, bahwa sekalipun mendapat izin dari murtahin, rahin tidak boleh memanfaatkan barang tersebut.
Akan tetapi ulama Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa rahin boleh memanfaatkan barang yang telah dijadikan jaminan utang asal tidak mengurangi  kualitas dan kuantitas barang itu, karena untung rugi barang tersebut menjadi hak rahin, sesuai dengan makna hadis riwayat Bukhari, at-Tirmizi, dan Abu Dawud dari Abu Hurairah di atas.  Namun apabila pemanfaatan barang jaminan itu oleh rahin berakibat merugikan barang itu sendiri secara kuantitas atau kualitas, maka ia tidak boleh memanfaatkannya.
Kekhawatiran para ulama tentang pemanfaatan barang jaminan baik oleh rahin maupun murtahin adalah agar kedua belah pihak tidak dikategorikan sebagai pemakan riba. Para ulama juga menetapkan bahwa apabila ketika akad berlangsung ditetapkan syarat bolehnya pemanfaatan barang jaminan oleh kedua belah pihak, maka akad tersebut dianggap tidak sah, sebab hal ini bertentangan dengan akad rahn yang sifatnya hanya sebagai jaminan/kepercayaan saja.
Tentang nafkah barang yang dijadikan jaminan tersebut, para ulama sepakat bahwa nafkah tersebut menjadi tanggung jawab rahin, sesuai dengan hadis Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Bukhari, at-Tirmizi, dan Abu Dawud di atas. Tetapi ulama Mazhab Hanafi tetap melibatkan pembiayaan ini kepada murtahin, karena menurut mereka, barang tersebut menjadi amanah di tangannya dan amanah harus dipelihara oleh pemegangnya. Oleh sebab itu, segala biaya yang diperlukan untuk keutuhan barang tersebut juga menjadi tanggung jawab murtahin.


[1] Syi'ar Allah Ialah: segala amalan yang dilakukan dalam rangka ibadat haji dan tempat-tempat mengerjakannya.
[2] Maksudnya antara lain Ialah: bulan Haram (bulan Zulkaidah, Zulhijjah, Muharram dan Rajab), tanah Haram (Mekah) dan Ihram., Maksudnya Ialah: dilarang melakukan peperangan di bulan-bulan itu.
[3] Ialah: binatang (unta, lembu, kambing, biri-biri) yang dibawa ke ka'bah untuk mendekatkan diri kepada Allah, disembelih ditanah Haram dan dagingnya dihadiahkan kepada fakir miskin dalam rangka ibadat haji.
[4] Ialah: binatang had-ya yang diberi kalung, supaya diketahui orang bahwa binatang itu telah diperuntukkan untuk dibawa ke Ka'bah.
[5] Dimaksud dengan karunia Ialah: Keuntungan yang diberikan Allah dalam perniagaan. keredhaan dari Allah Ialah: pahala amalan haji.
[6] Barang tanggungan (borg) itu diadakan bila satu sama lain tidak percaya mempercayai.